2009
Hoseok
30 Agustus 2009
Aku menggosok mataku dan bangkit dari tidurku. Para hyung memberi isyarat kepadaku untuk mengikuti mereka dengan tenang. Jujur aku ingin tidur lagi, tapi aku hanya mendengarkan hyungku. Dengan sembunyi-sembunyi aku keluar dari kamar dan melewati aula. Disekitaranku terasa gelap gulita. Aku bertanya-tanya jam berapa sekarang, selain daripada mengetahui bahwa itu sudah lewat jam tidur, aku tidak punya informasi apa pun. Kami menaiki tangga dan membuka gerbang besi di atap. Para hyung terkejut dengan suara berderit dan berhenti tempat, dan aku juga.
Aku melihat di sekelilingku.
Kami berkumpul bersama dan duduk di atap.
"Kenapa kita datang ke sini?" aku bertanya, Hyung tertaku menjawab: "Tunggu sebentar, Jung Hoseok." Tepat pada saat itu, aku mendengar suara letupan dan langit bagian utara menyala. Aku menutup mataku karena terkejut dan bersembunyi ke belakang. Aku juga berpikir aku bisa mencium bau yang terbakar. "Wow!" seseorang berteriak, dan hyung tertua memarahi mereka untuk diam. Aku membuka mataku sedikit dan menatap ke arah utara langit. Ada lagi ledakan, dan bintang-bintang muncul di langit malam. "Bukan bintang, itu kembang api" kata hyung.
Kembang api terus menyala, aku berbaring di atap dan menatap bintang-bintang, menyalanya api,
dan bunga-bunga kembang api yang meledak di langit.
"Jung Hoseok menangis, dia menangis!" aku mendengar hyung mengejekku. Aku menyeka air mataku dengan lengan bajuku. Tapi itu sia-sia, saat aku menitikkan air mata lagi.
Seokjin
10 Oktober 2009
"Ayo... Kita harus keluar dari sini!" Aku meraih tangan temanku dan berlari ke arah pintu belakang kelas kami. Saat berlari di aula sambil melihat kebelakang, aku melihat beberapa lelaki keluar dari ruang kelas dan mengejar kami. "Berhenti ... berhenti di sana!" Suara-suara mereka terasa mencekam di leher kami. Kami dengan panik menuruni anak tangga berpikir kemana harus pergi. Tujuan pertama yang terlintas dipikiran adalah bukit belakang sekolah. Kami hanya perlu melewati lapangan dan keluar lewat gerbang sekolah lalu kami akan sampai dibawah bukit. Meskipun bukit itu tidak tinggi, tapi cukup berbatu dan tanahnya tidak rata. Setelah berlari melewati gerbang dan memutari tikungan dengan kecepatan penuh, Kami mengabaikan jalan setapak dan melompat ke semak-semak. Kami melewati dahan-dahan yang tebal sambil terus berlari. Kami berlari tanpa henti, dan akhirnya berhenti setelah terasa langkah kaki dibelakang kami hilang. Kami berbaring di tanah yang tertutupi oleh dedaunan yang kering, keringat berjujuran dari wajah kami "Mereka tidak akan sanggup mengikuti kita sampai sini kan ?" Temanku mengangguk, dengan napasnya yang berat. Kami melepas kaos kami dan menyeka muka kami dengan kaos tersebut.
Muka temanku basah oleh keringat dan air mata. Pergelangan tangannya biru kehitaman karena memar. Kerah bajunya juga sobek. "Ayah, tidak pulang ke rumah lebih dari seminggu. Ibuku terus-terusan menangis. Pembantu rumah tangga dan supirku tidak lagi datang. Bibi bilang jika perusahaan ayah sedang bangkrut. Beberapa Laki- laki itu datang ke rumahku kemarin malam. Mereka terus-terusan membunyikan bel dan memanggil nama ayah. Kami bertahan di dalam rumah dengan lampu yang dimatikan, dan mereka terus memaki dari depan pintu. Kami tidak bisa tidur sepanjang malam." Temanku menangis sepanjang ceritanya. Aku tidak bisa mengatakan apapun. Yang bisa aku lakukan adalah mengatakan kepadanya untuk tidak menangis lagi. Tidak lama ketika kelas dimulai, pintu depan terbuka dan sekitar empat atau lima pria masuk. Mereka memberontak "siapa diantara kalian yang merupakan anaknya pak choi? Ayo ikut dengan kami" tertegun, guru kami meminta mereka untuk segera pergi, tetapi mereka tidak menghiraukannya. "Aku tahu kamu disini. Keluar sekarang." Beberapa anak yang duduk disebelahku mulai berbisik-bisik. Pria itu meperhatikan dan mendatangi kami. "Tidak bisakah anda melihat bahwa kami masih ada ditengah jam pelajaran. Silahkan keluar." Guru kami mencoba untuk menghentikan mereka tetapi salah satu dari mereka mendorongnya dengan keras ke papan tulis. guru kami terjatuh. Pria yang mendorong guru kami berjalan kearah kami dengan cara yang mengancam. Seluruh siswa menoleh kearah kami. Pria itu mencengkeram pundak temanku "Kami akan membawamu ke ayahmu dan mendapatkan uang darinya. Tentunya, dia tidak akan membiarkan anaknya pergi." Pria itu mengancam, suasananya pun sangat menakutkan. Aku melihat wajah temanku. Dia gemetar. Sangat gemetar dengan kepala tertunduk. Dia adalah temanku. Aku menyentuh dan meraih tangannya di bawah meja. Dia mendongak dan ku tarik tangannya. "Ayo lari"
Langit semakin gelap, sepertinya tidak ada yang mengejar kami. Kami melalui pepohonan dan semak-semak menuju jalan setapak. Sebuah bangunan yang kosong dengan peralatan olahraga ada di hadapan kami. Aku bersandar pada bar dan temanku duduk di sebuah bangku. "Aku takut, jika kamu akan terkena masalah karenaku." Temanku terlihat khawatir ketika aku bilang padanya bahwa aku baik-baik saja. Yang aku pikirkan saat di ruang kelas hanya membawa temanku pergi dari sana. Aku harus menjauhkan dia dari para pria itu. Tetapi, ketika kami mulai berlari, aku sadar kami tidak punya tempat untuk pergi. "Ayo ke rumahku" sekitar jam 9 malam karena waktu telah berlalu sejak matahari terbenam. Aku kelaparan. Dia pasti juga begitu. "Bukankah orangtua mu ada di rumah? Tidakkah kamu mendapat masalah jika kamu membawaku kesana?"
"Kita bisa menyelinap. Jika kita mendapat masalah, maka kita mendapat masalah bersama." Rumahku tidak terlalu jauh dari kaki bukit. Sebentar lagi rumah ku mulai terlihat dari kejauhan. "Langsung masuk ketika gerbang terbuka dan sembunyilah di balik pohon. Kemudian Aku akan membukakan jendela untukmu." Ibu sedang duduk di sofa ruang tamu. "Kemana saja kamu? Gurumu menelefon."
Bukannya menjawab pertanyaan ibuku, aku mengatakan maaf padanya. Itu biasanya cara tercepat mengakhiri percakapan. Ibu bilang ayah sebentar lagi akan pulang dan berada di kamarnya. Kamarku berseberangan dengan kamar mereka dan ruang tamu ditengah- tengah. Aku segera menuju ke kamarku dan membuka jendela. Kami mendengar gerbang terbuka saat bermain game di komputer setelah kami makan roti dan susu. Temanku memandangiku dengan ketakutan. "Tidak apa-apa, ayahku tidak pernah masuk kamarku." Pintu kamarku seketika terbuka sebelum aku selesai berbicara. Kami berdua melompat dari tempat duduk dengan ketakutan. "Apakah kamu anak pak choi?" Ayah melanjutkan tanpa menunggu jawaban "Keluarlah, sesorang datang menjemputmu." Disana ada seorang laki-laki yang berdiri di depan pintu. Awalnya ku kira dia adalah pak choi, segera aku tersadar ternyata bukan. Dia adalah salah satu pria yang ada di kelas sebelumnya. Aku menatap ayahku. Dia terlihat lelah dengan alis yang berkerut dan kelopak mata yang bergetar halus. Lebih baik tidak mengganggunya ketika dia dalam suasana hati seperti itu. Sementara ketika aku berusaha membaca raut wajahnya, pria tersebut masuk ke dalam kamarku dan meraih pundak temanku. Aku berada di depan temanku. "Tidak, ayah jangan biarkan orang itu membawa temanku pergi. Dia adalah orang jahat." Dia terus menatapku dan tidak bergerak. "Tolong, bantu dia ayah. Dia adalah temanku." Pria itu mencoba menarik temanku keluar. Aku memegang lengan temanku dan ayahku memegang pundakku. Dia memegang dan menariknya keluar dengan keras, Tanganku melepas lengannya. Dia diseret keluar pintu. Aku meronta agar untuk membebaskan diri tetapi ayah mempererat genggamannya. "Sakiiit"' aku berteriak, tapi ayah tidak melepaskanku. Dia malah menggenggam bahuku lebih kuat. Air mata mengalir diwajahku. Aku menatap ayah. dia seperti dinding abu-abu besar. wajahnya tanpa ekspresi, bahkan tatapan kelelahan kini hilang. Dia perlahan membuka mulutnya dengan menatapku. "Seokjin, jadilah anak yang baik." Ayah masih memiliki tatapan yang kosong. tetapi aku tahu apa yang harus dilakukan untuk menghentikan rasa sakit ini. "Seokjin" aku menoleh pada temanku yang sedang menangis. Dia melepaskan diri dari cengkeraman pria itu dan berlari menuju pintu. Dia menangis. Ayahku, dengan sebelah tangannya masih memegang pundakku, membanting pintu dengan tangan satunya. Aku meminta maaf kepada ayah. "Aku minta maaf ayah, aku tidak akan membuat masalah lagi."
Hari berikutnya, bangku sebelahku kosong. Guruku bilang dia pindah sekolah.
2010
Taehyung
28 Februari 2010
Seseorang sedang jongkok di depan supermarket. Dia adalah anak laki-laki yang usianya lebih tua dan aku belum pernah melihat dia
sebelumnya. Dia sedang bermain dengan Dongyi. Ia membelai dan memberinya sesuatu yang tampak seperti roti. Kami bertatapan mata sejenak, dan yang mengejutkanku, jadi aku melihat ke depan dan terus berjalan. Aku bersembunyi
di gang dan memperhatikannya dari sana. "Ugh. Siapa itu?" aku memasukkan tanganku ke dalam saku, menyentuh kantong plastik yang berisikan daging dan roti panggang. "Hmph. aku kesulitan menyembunyikan ini dari Ibu. ”
"Oh? Taehyung ada di sini. Kenapa kamu seperti itu? Bukankah kamu datang untuk bermain dengan Dongyi? " aku melompat
karena kaget. Ternyata itu adalah pemilik toko. Pria tadi mengangkat kepalanya dan menatapku. Ugh,
ini semua karena pemilik toko. Karenanya aku jadi ketahuan, aku mendekati pria itu.
"Siapa kamu?"
"aku?"
Pria itu menatapku dengan ekspresi seolah dia tidak tahu harus berkata apa. "Kenapa kamu bermain dengan Dongyi?" "Hah?" Sekali lagi, pria itu tidak menjawab.
Begitulah kenapa aku bisa berbicara dengannya. “Ayahku berkata ketika dia menghasilkan banyak uang dan kami pindah ke rumah besar, aku bisa punya anjing. aku akan membawa Dongyi untuk tinggal bersamaku. Hyung, jangan Anda berani mengambilnya." Dia mengangguk dan berkata, "Kedengarannya bagus."
“Hyung, apa kamu tidak punya uang? Jadi kamu tidak bisa memelihara anjing?" Mendengar kata-kataku, dia menatapku dan bertanya, "Uang?" Lalu dia menoleh dan menjawab. "Aku tidak bisa memelihara anjing." "Cobalah memohon kepada ayahmu. Ibuku bilang ayah lemah saat kita memohon." Hyung itu hanya menganggukkan kepalanya sambil mengelus Dongyi. Dia bergumam sambil "Itu bagus." aku bertanya lagi, “Jadi, siapa kamu? Siapa namamu?" Hyung tidak menatapku,
tetapi menjawab pertanyaanku “Aku? Kim Seokjin. "
Hoseok
23 Juli 2010
Ketika aku menghitung sampai angka empat, aku mendengar suara tawa seperti halusinasi pendengaran. Selanjutnya, aku seakan melihat diriku dari masa kecilku ditarik saat memegang tangan seseorang. Aku dengan cepat berbalik untuk melihat disekitaranku, tapi hanya ada teman sekelasku yang sedang menatapku. "Hoseok" guru memanggil namaku. Kemudian aku menyadari keberadaanku. Saat Itu kelas matematika dan aku sedang menghitung buah yang tergambar di buku teks. Lima enam.. aku menghitungnya lagi, tetapi ketika aku terus berjalan, suaraku bergetar dan
tanganku mulai berkeringat. Memori dari waktu itu sering muncul. Aku tidak ingat wajah ibuku sejak hari itu.
Aku hanya ingat dia memberiku cokelat setelah aku berkeliling di taman hiburan. "Hoseok, hitung sampai sepuluh dan kemudian buka matamu." Disaat aku selesai menghitung dan membuka mataku, ibuku sudah tidak ada di sana. Aku menunggu dan terus menunggu, tetapi dia tidak kembali. Yang terakhir aku hitung adalah sembilan. Aku hanya perlu menghitung satu lagi, tetapi suaraku tidak bisa keluar.
Telingaku berdering dan sekelilingku menjadi buram. Guruku memberi isyarat kepadaku untuk terus melanjutkannya. Teman-temanku menatapku, aku tidak bisa mengingat wajah ibuku. Dulu
seperti ibuku tidak akan pernah datang untuk mencariku, jika bisa aku menghitung satu lagi.
Dan saat itu, aku jatuh ke lantai.
Taehyung
29 Desember 2010
Aku melepas sepatuku, dan melemparkan tasku lalu pergi ke ruang utama. Ayahku benar-benar ada di sana. Aku tidak memikirkan sudah berapa lama atau dari mana asalnya. Tanpa pikir panjang aku melompat ke dalam pelukan ayahku. Aku tidak ingat dengan baik apa yang terjadi selanjutnya. Baik itu bau alkohol
Yang pertama, apakah ucapan kasar itu yang pertama, apakah dia menampar pipiku dulu. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ada bau alkohol, napas yang berat, dan bau mulut. Matanya merah dan janggutnya tumbuh tidak rapih. Dia menampar pipiku dengan tangan besarnya. Dia menampar pipiku lagi bertanya apa yang aku lihat. Lalu dia mengangkatku ke udara. Mata merahnya yang cerah menakutkanku, tetapi aku sangat takut sehingga aku tidak bisa menangis. Itu bukan ayahku. Tidak, itu ayahku.
Tetapi tidak. Kedua kakiku bergetar di udara. Pada saat berikutnya, setelah memukul kepalaku dengan kasar ke dinding, dan aku jatuh ke lantai. Rasanya seperti kepalaku pecah. Pandangan penglihatanku berkedip-kedip dan segera menjadi gelap gulita. Kepalaku hanya dipenuhi oleh suara napas ayahku yang berat.
2011
Jimin
6 April 2011
Aku pergi melewati gerbang depan arboretum. Ketika hari berlalu, hari menjadi semakin dingin, tetapi ternyata aku merasa lebih senang. Meskipun itu adalah hari piknik, ibu dan ayahku sibuk. Jadi pada awalnya, aku sedikit cemberut. Tetapi aku menerima pujian dalam kompetisi menggambar bunga, dan ibu teman-temanku berkata
"Jimin sudah cukup dewasa bukan?"
Sejak saat itu, aku pikir akuagak keren. "Jimin-ah, tunggu di sini. aku akan segera datang ke sini " kata guruku setelah piknik selesai, tetapi aku tidak menunggunya, aku memiliki keyakinan bahwa aku bisa pergi sendiri. Aku memegang tali tasku erat-erat dengan kedua tanganku dan berjalan dengan matang.
Sepertinya semua orang memperhatikanku, jadi aku menegakkan bahuku lebih tegak lagi. lalu beberapa waktu sebelum hujan turun. Teman-temanku, para ibu mereka, dan orang-orang yang mau menjagaku tidak ada di sana, dan kakiku sakit. Aku menutupi kepalaku dengan tasku dan berjongkok di bawah pohon. Hujan semakin deras sedikit demi sedikit, dan tidak ada orang yang lewat.
Pada akhirnya, Aku mulai berlari di tengah hujan. Aku tidak bisa melihat rumah atau toko apa pun. Tapi tempat dimana aku tiba adalah
gerbang belakang arboretum. Pintu sampingnya terbuka, dan aku bisa melihat ruang penyimpanan di dalamnya.
2012
Seokjin
21 Juli 2012
Pintu masuk terus membuka dan menutup. Aku terus menatapnya, duduk di ruang tunggu bandara. Orang-orang lewat dengan koper mereka, beberapa dari mereka mengenakan kacamata hitam. Papan display elektronik terus berubah dengan nama penerbangan untuk kedatangan, penundaan dan pembatalan. Sopirku bergumam dengan mata tertuju pada ponselnya. "Belum ada kabar darinya." aku melihat jam tanganku. sudah lebih dari satu jam dari waktu yang dijanjikan dia tiba. Sepanjang yang bisa aku ingat, selalu sendirian.
Ayah selalu sibuk dan ibuku yang acuh tak acuh. Mereka mengatakan kepadaku untuk melakukan apa yang diperintahkan kepadaku dan tidak mencoba hal lain. Ketika aku mencoba berkompromi, mereka memarahiku dengan diam. Aku ingin menyenangkan orang tuaku. Ibu meninggal belum lama ini. Ayah mengatakan kepadaku untuk tidak menangis dan tidak menangis sendirian. Aku mencoba untuk mematuhinya, tetapi itu tidak mudah.
Ayahku memutuskan untuk mengirim ku ke rumah nenek dari ibuku di A.S. Dia tampaknya tidak terlalu sedih tentang hal itu. Supir ayahku memberikanku paspor. Sudah waktunya untuk pergi. Aku melihat ke belakang saat menuju gerbang keberangkatan. Pintu masuk tertutup. Supirku melambai padaku. Pesawat akhirnya mulai mempercepat landasan. Ayah tidak datang. Aku melihat keluar jendela kecil di dekat tempat dudukku. Awan berlalu, dan langit menjadi gelap gulita. Pramugari membawakanku makanan dan jusnya.
Ketika kami mengalami turbulensi. Bingung, aku meminta beberapa handuk. Pramugari bertanya apakah aku baik-baik saja. Tanganku lengket dan celananku basah. "Tidak" aku membalas sambil berbisik. Tetapi pramugari sepertinya tidak mendengar. Dia bilang jangan khawatir saat dia mengambil nampanku. Aku hanya mengangguk dan terus menatap lantai.
Jungkook
30 September 2012
Aku berjalan menuju tempat orang-orang berkumpul. Apa yang sedang terjadi? Ini pertama kalinya aku
terlihat orang-orang berkerumun di satu tempat yang bukan di taman hiburan atau sekolah. Aku merasa takut oleh suara mereka yang berbicara dengan keras. Seseorang yang lewat berkata, “Apa ini? Bagaimana aku bisa hidup,ketik aku menjadi takut seperti ini?" Aku mendorong diriku melalui celah di antara kaki orang dan maju. Aku takut, tapi aku juga penasaran.
Ada lubang besar, terdapat lubang besar seperti itu di tanah. Itu lubang besar, aku maju sedikit. Aku ingin melihat apa yang ada di lubang itu. Saat itu di pertengahan hari, tapi aku
tidak bisa melihat ke dalam lubang itu dengan baik. Di sisi dimana tempat tanah runtuh, hanya ada benda-benda seperti pohon akar yang keluar. Aku maju selangkah lagi. "Hati-hati!" seseorang berteriak dibelakangku. Bagian depan sepatuku masuk ke dalam lubang. Saat bumi terasa runtuh, pusat gravitasiku tersendat. Aku mundur dengan terkejut. Saat itu juga. Seperti ada sesuatu yang tajam bersinar dari dalam. Benda itu seperti cahaya, tetapi juga sepertinya ada lubang lain di dalam lubang itu.
2015
Namjoon
21 Mei 2015
Aku diam-diam pergi menuju ke pintu masuk depan. Aku meraih gagang pintu dan memutarnya dengan hati-hati, mencari tanda-tanda. Aku tidak mendengar apa-apa. Aku memasukkan kepalaku ke dalam rumah dan melihat sekeliling, tetapi rumah itu gelap. Aku mengambil satu langkah ke dalam. Aku memanggil ibuku, tetapi tidak ada yang menjawab. Aku menyalakan lampu, dan melihat sekeliling lagi. Sudah lewat pukul 9:00 malam. Tidak mungkin tidak ada orang di rumah. Aku memanggil lagi, tetapi hanya ada keheningan. Aku pulang lebih lambat dari biasanya.
Biasanya aku membantu ibuku segera setelah pulang sekolah, tetapi aku ingin bermain-main dengan teman-temanku sekali saja. Jadi, tanpa menghubungi siapa pun, aku pulang terlambat. Tapi, tidak ada orang di rumah. Anehnya aku merasa dingin dan menggenggam kedua tanganku, dan aku hanya berdiri di ruang tamu yang gelap. Kemudian, telepon tiba-tiba berdering. Dinginnya meresap tubuhku. Telepon masih berdering, tetapi aku merasa aneh seakan perasaanku berkata bahwa aku tidak boleh menjawabnya. Akan ada perasaan yang tidak menyenangkan jika aku menjawab telepon, semuanya akan berubah, bahwa aku tidak akan dapat kembali lagi ke "diriku" yang sekarang. Tetapi telepon terus berdering, dan pada akhirnya aku berakhir di depan telpon. Kemudian, aku mengangkat telpon tersebut.
Yoongi
25 Juli 2015
"Yoongi-yah." Segera setelah aku memasuki ruang tamu, aku duduk di depan piano. Aku bahkan tidak punya waktu untuk menghapus keringatku. Aku menyeka tanganku yang lengket di kausku. Ibuku memberikan lembaran musik.
Aku tidak bisa melihat lembaran musik itu dengan baik. Aku hanya bisa terdiam, karena aku baru saj amenghabiskan satu jam untuk berlari di bawah teriknya matahari. Jantungku berdegup kencang,bahkan aku tidak bisa mendengar napasku. Keringat mengalir membasahi punggungku. Jari-jariku kaku dan gemetar. "Min Yoongi." Aku tersadar ketika mendengar suara ibuku. "Sudah waktunya bagimu untuk membuat musikmu sendiri, ketika kamu bahkan tidak bisa memainkan lagu Chopin dengan benar?" Kata ibuku sambil mengetuk lembaran musik.
Apa yang aku mainkan tadi? Aku tidak bisa mengingatnya dengan baik. "Lagi, dari awal" kata Ibu dengan suara rendah. Lagi. Lagi. Lagi. Aku terus memainkan halaman yang sama. Keringat terus mengalir keluar dari tubuhku yang belum terasa dingin. Pikiranku kosong, dan aku merasa seperti akan muntah. Mungkin karena itu. Aku mengabaikan lembaran musik, mengabaikan ibuku, dan memasukkan perasaanku yang ingin meledak di dalam diriku ke jari-jariku. Ibu meraih tanganku, menjauhkannya dari keyboard dan berkata: "Ini bukan sentimen!" "Tolong hentikan!"
Aku berteriak, tiba-tiba melompat dari tempat dudukku. Ibu menatapku, seolah dia membeku. "Tolong hentikan. Aku meminta Anda untuk berhenti." Aku mengucapkan kata-kata yang aku bisa katakan. Aku melompat dan
turun dari tempat itu dan mengacak rambutku. Pada akhirnya, aku menghadap ke piano, meraih piala ibu, dan melemparkannya. Salah satu kunci pianoku pecah dan memantul tepat di pipiku.
( Made with Carrd )